Selasa, 04 November 2014

Mencairnya Kebekuan Politik untuk Indonesia Satu



Sepanjang tahun 2014 ini, kita telah melalui sebuah  event besar yang sangat dinantikan Bangsa Indonesia, yaitu Pemilihan Umum. Selama masa kampanye, kita telah merasakan iklim persaingan yang cukup panas antara para calon presiden. Dukungan calon presiden dan wakil presiden Prabowo – Hatta maupun Jokowi – Jusuf Kalla sama – sama kuat. Hal itu menyebabkan politik di Indonesia waktu itu, terkesan membeku. Para simpatisan Prabowo maupun Jokowi, terkesan saling menjatuhkan satu sama lain.   
Berikut ini merupakan berita – berita yang dkutip dari surat kabar harian.

Sebelum Pelantikan
Berita ini dibuat tanggal 2 November 2014, Pukul 2:47 WIB, dari harian “SUARAMERDEKA” . 

  TAK mudah efek sistemis bekerja di Indonesia, baik untuk jurusan berkah maupun musibah. Musibah dengan skala apa pun tak mudah berefek sistemis. Tsunami Aceh misalnya, alih-alih menghancurkan, ia malah menyatukan. Belum pernah ada jenis kerekatan sosial sedemikian rupa di Indonesia menyangkut Aceh sebelum tsunami besar itu terjadi. Televisi  menyala setiap hari mengabarkan bencana dahsyat itu hingga ke ceruk ruang-ruang keluarga. Hasilnya, belum pernah kita saksikan sebelumnya mobilitas bantuan yang demikian deras, sampai Presiden SBY saat itu membebaskan langit kita dengan open sky policy.

    Jika sebuah bank bermasalah dan dikhawatirkan menimbulkan dampak sistemis, begitu sigap sebuah keputusan diambil agar bencana keuangan sistemis itu tidak terjadi. Perkara kesigapan itu dianggap terlalu sigap dan menimbulkan kontroversi hingga kini, tetapi faktanya dampak sistemis itu memang tidak terjadi.

   Persaingan pilpres Prabowo-Jokowi adalah persaingan terpanas sepanjang pilpres pada era demokrasi. Begitu panas sampai dikhawatirkan berdampak sistemis bernama rusuh sosial. Dari kalkulasi hasil pikiran ahli sampai ke penerawangan dukun, siapa pun yang menang akan terjadi gonjang-ganjing. Ternyata yang terjadi hanyalah sekadar gonjang tapi tak sampai ganjing. Ada saja faktor pencegahnya. Baik pencegah alam, maupun pencegah kebudayaan.

     Pertama, perseteruan itu terjadi tepat di bulan puasa dan Piala Dunia. Siang banyak orang lapar karena puasa sementara malamnya banyak orang begadang karena harus menonton bola. Dua kegiatan ini saja cukup sudah untuk mengurangi derajat pertengkaran.
   
    Saat Jokowi dinyatakan menang oleh KPU, diramalkan akan terjadi puncak kekacauan. Hal itu juga tak terjadi. Ada saja faktor pencaharnya. Jokowi menemui Prabowo dengan hasil Prabowo datang ke pelantikan dengan ledakan tepuk tangan. Kerasnya tepuk tangan itu memang berisi bermacam-macam adonan perasaan, tapi salah satunya pasti betapa pemandangan itu melegakan. Perseteruan yang dikhawatirkan akan bersifat sistemis itu ternyata juga mengempis di tengah jalan. Sebagai ganti, sikap legawa yang banyak dirindukan itu akhirnya terperagakan.
  
   Lalu kita pun menduga bahwa kemunculan sikap legawa ini akan bersifat sistemis. Jika satu legawa, yang lain akan mengikuti? Tetapi tenyata tidak. DPR pecah. Dan di dalam sejarah berdemokrasi, ini baru pertama kali terjadi ada DPR tandingan. Legawa ternyata memang lebih mudah diperagakan oleh pihak yang diuntungkan. Kepada pihak yang tengah rugi hal itu sulit sekali. ”   Karena sakitnya tuh di siniii….,” begitu istilah anak-anak gaul kini.

   Apakah perpecahan DPR ini akan berdampak sistemis? Rasanya tidak. Ini kalau kita konsisten percaya bahwa soal-soal sistemis itu sulit terjadi di sini. Maka walau ada DPR tandingan, tak tegalah bangsa ini jika harus melahirkan presiden tandingan. (62)
Setelah Pelantikan
   
    Berita ini berjudul “Polcomm: Pasca Pelantikan Jokowi-JK, Tensi Politik akan Menurun”, dikutip dari warta berita RRI, dan dibuat pada tanggal 21 Oktober 2014
KBRN, Jakarta: Political Communication Institute (Polcomm Institute) menilai pasca pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla, dan pertemuan antara Prabowo dan Jokowi berimbas pada tensi politik yang menurun. 
   
  Menurut Direktur Polcomm Institute Heri Budianto, pertemuan Jokowi-JK bukan saja mencetak sejarah, namun membuktikan dalam konstelasi politik itu menang dan kalah itu biasa. 

  “Tentu saja kita melihat situasi politik empat hari terakhir ketika Prabowo-Jokowi bertemu berimbas pada tensi politik yang menurun,” kata Heri, Selasa (21/10/2014).
  
   Dijelaskannya, elit politik harus belajar dengan pertemuan Prabowo dan Jokowi. “Bagi Pak Jokowi, beliau memiliki sikap yang luar biasa, dimana yang menang merangkul yang kalah. Beliau mau menemui Pak ARB dan mendatanginya,” terangnya. 

  Bagi Prabowo, ungkapnya, bukan hal yang mudah untuk mengalahkan ego. Namun demikian, ujarnya, tensi politik bisa naik bila terjadi perebutan posisi komisi-komisi di DPR. Selain itu, ia menilai PAN dan Demokrat yang bisa dirangkul Jokowi. Sebab antara PAN dan Demokrat itu bisa bersama-sama dalam kerjasama politik. (SAS/AKS)

  Dari kedua berita yang telah dimasukkan dalam artikel ini, kita dapat memetik pelajaran bahwa semua kemelut yang timbul akibat rasa simpatisme terhadap para calon presiden adalah hal yang lumrah, karena itu menunjukkan rasa peduli dan cinta tanah air oleh individu – individu yang tinggal di negeri ini. Tapi alangkah baiknya, para simpatisan itu bersikap yang bijak dalam menentukan pilihan calon presiden. Dengan begitu, ketentraman tanah air akan tetap terjaga. 
   Lalu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pertemuan antara Jokowi dan Prabowo. Pertemuan ini sarat dengan nilai sportivitas dan bertanggung jawab. Dengan adanya hal ini, kebekuan politik mereda, dan negara ini menjadi lebih aman. Semoga dengan terpilihnya Presiden baru kita untuk periode 2014 – 2019, negara kita bisa semakin aman, tenteram, dan maju. Aamiin…. 

Referensi :


0 komentar:

Posting Komentar